KOMPAS/BENNY DWI KOESTANTO
Seorang perempuan pekerja di CV Keramik Pejaten, Desa Pejaten, Kediri, Tabanan, Bali, merampungkan pembuatan keramik, Sabtu (1/5). Keramik buatan desa itu dipasarkan hingga ke mancanegara, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang.
BENNY DWI KOESTANTO
Perjalanan kreativitas keramik Pejaten adalah perjalanan hati. Setelah seperempat abad berlalu, perjalanan kreasi itu kini sangat menentukan. Apakah cicak akan tetap menempel di gerabah Kuturan, sang seniman, dan kodok masih hinggap di cangkir Durya.
Terik terasa menyengat kulit, Sabtu (1/5), ketika I Wayan Kuturan (58) menyusuri jalanan sempit di Banjar Pamesan, Desa Pejaten, Kabupaten Tabanan, Bali, dengan sepeda motornya. Penampilannya tetap sederhana dan khas. Berkaus oblong, sarung bali, tanpa mengenakan alas kaki.
”Tidak perlu ada yang berubah. Terik matahari tetap sama panasnya dengan dulu, di kulit badan hingga telapak kaki. Bedanya, kini naik motor sehingga lebih cepat sampai ke mana-mana,” ujar Kuturan terkekeh-kekeh ketika kami akhirnya bertemu di bengkel kerja sekaligus tempat pajang karya keramik I Made Durya (46).
Bersama Made Tantri, sang kepala desa yang punya visi jauh ke depan, dan Wayan Kerta yang pintar menggerakkan orang—kedua tokoh ini telah tiada—Kuturan jadi bagian dari trio perintis evolusi di Pejaten. Kuturan bahkan boleh dikata peletak dasar jalan hidup warga setempat, saksi hidup sekaligus pelaku: mulai dari pembuatan gerabah sederhana di desa itu, beralih ke genteng, hingga mapan di usaha kerajinan keramik.
Meski tinggal di kabupaten lumbung padi diBali, Pejaten adalah sebuah perkecualian. Desa itu tidak punya areal sawah yang luas sehingga warganya tidak hidup daripertanian. Tidak adanya lembaga adat subak di desa itu menjadi penegas. Maka, untukmelanjutkan hidup, warga Pejaten harus keluar desa. Bermodal tanah liat yang ada di desa itu, mereka mengubahnya menjadi aneka gerabah: mulai dari periuk nasi, kuali, hingga tungku perapian.
Selama dasawarsa 1960-an, Kuturan menyusuri jalan-jalan di Tabanan dan Badung, membarter aneka gerabah dengan beras dan sayur-mayur. Saat-saat itu, Durya pun ingat dekapan gendongan ibunya ketika melakukan hal serupa. Tak bakal hilang dari ingatan bagaimana mereka kerap harus menginap di sembarang selasar saat hari keburu malam, tetapi dagangan belum laku dibarter.
Evolusi pertama Pejaten terjadi awal tahun 1970-an ketika perkakas dari aluminium dan besi mulai bermunculan. Menjadi perajin genteng pun jadi pilihan mayoritas warga. Pilihan itu tetap hidup sampai sekarang ketika teknik pembuatan genteng pres banyak dikerjakan. Bahkan, ketika pada medio 1980-an datang gagasan baru ke desa itu, yakni pilihan menjadi perajin keramik, tradisi membuat gerabah tetap mereka lakoni.
Adalah Hester Tjebbes, ahli keramik dari Perancis, yang sejak tahun 1983 mengajarkan teknik yang sederhana, bakaran tinggi, buatan tangan, dan produk-produk keramik yang diberi dekorasi. Tjebbes datang bersama lembaga Humanisch Instituut voor Ontwikkelingssamenwerking (Hivos) yang berpusat di Belanda sebagai mitra kerja untuk mendorong dan mengembangkan keramik Pejaten.
Motif-motif flora faunamenjadi daya tarik khas keramik Pejaten, seperti cicak, kupu-kupu, kodok, daun pisang, dan bunga. Ornamen natural itu menghiasi aneka keramik fungsional, mulai dari cangkir, piring, hingga aneka produk spa kontemporer, seperti tempat lilin dan peralatan aroma terapi. Dari sanalah tercipta ornamen cicak di gerabah Tantri, Kerta, dan Kuturan, atau kodok dan belalang di cangkir dan piring Durya.
Aneka produk keramik Pejaten, khususnya dari Tantri, Durya, dan Kuturan, itu akan kembali dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jalan Palmerah Selatan, 4-9 Mei 2010. Ini adalah pameran ketigaproduk keramik Pejaten oleh BBJ setelah tahun 1987 dan 2005.
”Naik kelas”
Seiring perjalanan waktu, dengan mengandalkan aneka pameran ataupun ”gandengan” biro jasa pengiriman barang ekspor-impor di Bali yang notabene juga didatangi turis dari seantero dunia, keramik Pejaten ”naik kelas”. Pangsa pasar mapan, seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Timur—terutama Jepang dan Korea Selatan—rutin memesan produk keramik Pejaten. Kini, 90 persen dari sekitar 4.500 keluarga di Pejaten hidup dari usaha kerajinan gerabah dan keramik.
Pada awal 2000-an, muncul perajin baru, seperti I Gede Mertadana (35) dan I Wayan Trinadi (28). Ini seiring dengan peralihan generasi pertama di Pejaten ke tangan para penerusnya.
Ketika Tantri meninggal, misalnya, kelanjutan usahanya dipegang Oka Mahendra Putra, anaknya. Bahkan, kini, ketika Oka lebih fokus ke dunia politik, usaha itu diteruskan salah satu anak buahnya. Usaha Kuturan diteruskan dua anaknya: Wayan Wirya (39) yang mengurusi pemasaran dan Made Sukowinaya (35) yang memegang urusan desain. Hanya Durya yang masih memegang usahanya sendiri. Dua anak perempuannya masih berkutat dengan kuliah dan sekolahnya.
”Saya harus ngempu, menjalani garis tangan menjadi pemangku pura di keluarga besar. Jadi, saat ini saya sebenarnya hanya melihat usaha keramik itu dari ’jauh’ saja. Saya harus siap meninggalkan semuanya sewaktu-waktu,” tutur Kuturan, yang tidak lulus SD, tetapi dari usahanya itu ia menghidupi 15 karyawannya.
Agung Alit, Direktur Yayasan Mitra Bali, lembaga swadaya anggota World Fair Trade Organization—organisasi yang mempraktikkan perdagangan adil di seantero dunia—menyatakan, tantangan terkini usaha keramik dalam pasar global sangatlah kompleks. Mulai dari urusan persaingan pasar dengan produk dari China hingga urusan sertifikasi produk menyangkut standar kesehatan, standar mutu, serta aneka sertifikasi sebagai persyaratan ekspor. Hal-hal yang pelik itu masih berbenturan dengan aneka persoalan di dalam, misalnya semakin sulitnya memperoleh bahan baku pembuatan keramik.
Menurut Agung, dukungan pemerintah tak cukup hanya memberi kesempatan kepada para perajin berpameran atau membantu penyediaan alat pembakar keramik. Menerangkan wacana dan praktik, sekaligus mencari celah pasar maupun solusi atas ”perang” dagang antara AS dan Eropa dengan China ke tangan para perajin sederhana, seperti Kuturan dan Durya, misalnya, adalah sebuah kewajiban.
”Di saat hal itu masih menjadi persoalan, ekonomi biaya tinggi dalam proses produksi jadi masalah yang cukup mengganggu. Banyak tambahan biaya harus dikeluarkan, misalnya untuk mendatangkan bahan baku dari luar Bali yang harganya juga terus naik,” kata Agung.
Durya mengaku cukup beruntung menjadi bagian dari program advokasi lembaga seperti Mitra Bali. Lewat informasi dari yayasan itu, ia mampu memenuhi aneka standar mutu dan kesehatan yang diwajibkan Pemerintah AS. Tetap terbukanya pasar itu tidak sekadar menjadi aliran pemasukan bagi diri dan keluarganya, melainkan juga bagi 25 karyawannya.
Keinginan Durya itu akan selalu senapas dengan Kuturan dan generasi turunan keramik Pejaten selanjutnya. Mereka tetap ingin ornamen cicak, kodok, burung, serta aneka flora dan fauna itu selalu tertempel di produk keramik unggulan desa mereka. Tetap abadi!