After four years since establishing the museum was conceived, the building was gradually constructed and completed by 2015. Finally, the Tanteri Ceramic Art Museum, located in Pejaten Village, was officially opened. The Deputy Regent of Tabanan attended the grand opening of the museum I Komang Gede Sanjaya on Saturday, May 23, 2015.
“I hope that this museum can be a place of learning and a center for studying the progress of ceramic and pottery art that is developing in Bali in particular, but also in Indonesia,” said Deputy Regent of Sanjaya to the invitees and the public. This event was attended by several palace family figures in Tabanan district and local village community leaders.
I Putu Oka Mahendra has an obsession with building a museum that explicitly displays various ceramic models. At that time, Oka Mahendra was a colleague of his when he was still listed as a member of the Legislative Council of the House of Representatives / DPRD of Tabanan Regency in the 2009-2014 period.
So I give high appreciation to him. Hopefully, this will become a new tourist attraction to bring in tourists and contribute to the development of Pejaten village.
At the welcoming ceremony, Oka Mahendra said that the desire to establish the museum existed when his father was still the village head. That’s why the museum was named after his father, Tanteri. “Although the idea is old, the construction of the museum building began in 2011,” he said.
He further recounted that pottery and ceramics, or any craft made from clay, were identical with Pejaten Village because this craft has supported the life of the local community since the past. “In fact, in 1970, this village was a dry field, and the available agricultural land area was not sufficient. Pottery crafts that help support the life of the people here,” he said.
In the past, pottery made by local people was exchanged for rice or other clothing, so that can be said that pottery supports livelihoods and is sold by the barter system.
In the next decade, around 1985, this village’s ceramic and pottery industry was growing up.
Mrs. Hester Tjebbes, a potter from HIVOS, a humanitarian organization in the Netherlands, introduced the new technique of high-firing. So The people Pejaten can produce ceramics and pottery of much higher quality. “Since then, ceramics and pottery in this village have developed rapidly,” he added.
Associated with a visit to the museum, tourists can also see various ceramics produced by local villages. In addition, tourists can also see firsthand the process of making ceramics, processing raw materials in the form of clay, and manufacturing to the finishing process.
*****
Setelah empat tahun ide pendirian tercetus, dimulai pembangunan gedung secara bertahap dan selesai 2015. Akhirnya Museum Seni Keramik Tanteri yang berlokasi di Desa Pejaten dibuka secara resmi. Acara grand opening museum ini dihadiri langsung oleh Wakil Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya pada Sabtu, 23 Mei 2015. Dengan diresmikannya museum ini diharapkan mampu berkembang menjadi satu-satunya tempat rujukan bagi industri keramik dan gerabah di Bali khususnya dan Indonesia.
“Saya berharap adanya museum ini bisa menjadi wahana pembelajaran dan sekaligus menjadi tolak ukur kemajuan seni keramik yang berkembang di Bali khususnya, tapi juga Indonesia,” ujar Wakil Bupati Sanjaya kepada para undangan dan hadirin. Pada acara ini hadir beberapa tokoh puri di kabupaten Tabanan, serta tokoh masyarakat desa setempat.
I Putu Oka Mahendra memiliki obsesi untuk membangun sebuah museum yang khusus menampilkan berbagai model keramik. Saat itu , Oka Mahendra merupakan teman sejawatnya saat masih tercatat sebagai anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat /DPRD Kabupaten Tabanan pada periode 2009-2014.
Jadi saya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap beliau dan semoga ini menjadi sebuah daya tarik pariwisata baru sehingga akan dapat mendatangkan wisatawan dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan desa Pejaten.
Pada acara sambutan, Oka Mahendra menuturkan bahwa keinginan untuk mendirikan museum tersebut sudah ada semasa ayahnya masih menjabat sebagai kepala desa. Itu sebabnya, museum itu diberi nama sesuai nama ayahnya, Tanteri. “Meski idenya sudah lama, pembangunan gedung museum dimulai pada 2011,” ungkapnya.
Lebih jauh dia menceritakan, bahwa gerabah dan keramik, atau kerajinan apapun yang berbahan baku tanah liat memang begitu identik dengan Desa Pejaten. Sebab kerajinan inilah yang telah menopang kehidupan masyarakat setempat sejak masa lalu. “Bahkan Dulu kira kira tahun 1970, desa ini merupakan ladang kering dan areal lahan pertanian yang tersedia tidak memadai. Kerajinan gerabah yang membantu menopang hidup masyarakat di sini,” tuturnya.
Dulunya, gerabah hasil buatan masyarakat setempat ditukar dengan beras atau sandang lainnya. Sehingga boleh dibilang gerabah menopang mata pencahariandan dijual dengan sistem barter.
Pada dekade berikutnya, sekitar tahun 1985, industri keramik dan gerabah di desa ini semakin berkembang. Ini seiring dengan diperkenalkan teknik pembakaran dengan temperatur tinggi oleh Ibu Hester Tjebbes dari HIVOS, sebuah lembaga kemanuasiaan di Belanda. Dengan teknik ini, keramik dan gerabah yang dihasilkan jauh lebih bermutu. “Sejak saat itulah kerajinan keramik dan gerabah di desa ini berkembang pesat,” tambahnya.
Terkait dengan kunjungan ke museum, wisatawan juga dapat melihat berbagai keramik hasil produksi desa setempat. Selain itu, wisatawan juga dapat melihat secara langsung proses pembuatan keramik, pengolahan bahan baku berupa tanah liatdan cara pembuatan sampai proses finishing.
******